a.
CMP
Method
CDP
(Common Deep Point) adalah istilah dalam pengambilan data seismik untuk
konfigurasi sumber-penerima dimana terdapat satu titik tetap dibawah permukaan
bumi. Untuk kasus reflektor horisontal (tidak miring) CDP kadang-dagang dikenal
juga dengan CMP (Common Mid Point). Selain CDP dikenal juga CR (Common
Receiver) untuk konfigurasi beberapa sumber satu penerima, CS (Common Shoot)
untuk konfigurasi satu sumber beberapa penerima dan Common Offset untuk
konfigurasi sumber penerima dengan jarak (offset) yang sama. Untuk lebih
jelasnya perhatikan gambar dibawah berikut respon seismiknya.
Gambar Common Deep Point
b.
Deconvolution
Dekonvolusi dilakukan
sepanjang sumbu waktu (time axis) yang bertujuan untuk meningkatkan resolusi
temporal dengan mengkompresi wavelet seismik asal sampai mendekati bentuk spike
dan meminimalkan reverberasi gelombang. Untuk itulah, maka pada awal pengerjaan
dekonvolusi diperlukan suatu time gate dimana di dalam gate tersebut diusahakan
tercakup nilai-nalai sinyal to noise rasio yang cukup baik agar dihasilkan
operator dekonvolusi yang tepat. Biasanya nilai signal to noise rasio yang
masih cukup baik terdapat antara first break time sampai beberapa milisecond di
bawahnya, dimana amplitudo sinyal masih dapat terlihat cukup kuat. Adapun jenis
dekonvolusi yang dipakai pada pengolahan data kali ini adalah tipe
spike/predictive dekonvolusi, dimana konsep dari metode ini yaitu dengan
menggunakan teori filter Wiener yang merupakan sebuah operasi matematik yang
menganut azas kuadrat terkecil dalam menjalankan operasinya.
Dekonvolusi adalah proses pengolahan data seismik yang bertujuan untuk meningkatkan
resolusi vertikal dengan cara mengkompres wavelet seismik. Deconvolusi umumnya
dilakukan sebelum stacking akan tetapi dapat juga diterapkan setelah stacking.
Selain meningkatkan resolusi vertikal, deconvolusi dapat mengurangi efek
'ringing' atau multiple yang mengganggu interpretasi data seismik. Deconvolusi dilakukan dengan melakukan konvolusi antara data seismik dengan sebuah filter yang dikenal
dengan Wiener Filter . Filter Wiener diperoleh melalui permasaan matriks
berikut:
a x b = c
§ a adalah hasil
autokorelasi wavelet input (wavelet
input diperoleh dengan mengekstrak dari data seismik)
§ b adalah Filter Wiener
§ c adalah kros korelasi antara wavelet input dengan output yang dikehendaki.
Output yang dikehendaki terbagi menjadi beberapa jenis:
1. Zero lag spike (spiking deconvolution)
2. Spike pada lag tertentu.
3. time advanced form of input series (predictive deconvolution)
4. Zero phase wavelet
5. Wavelet dengan bentuk tertentu (Wiener Shaping Filters)
1. Zero lag spike (spiking deconvolution)
2. Spike pada lag tertentu.
3. time advanced form of input series (predictive deconvolution)
4. Zero phase wavelet
5. Wavelet dengan bentuk tertentu (Wiener Shaping Filters)
Zero lag spike memiliki bentuk [1 , 0, 0, 0, ..., 0] yakni amplitudo bukan
nol terletak para urutan pertama. Jika Output yang dikehendaki memiliki
bentuk [0 , 0, 1, 0, ..., 0] maka disebut spike pada lag 2 (amplitudo
bukan nol terletak para urutan ketiga) dan seterusnya.
Dalam bentuk matrix, Persamaan Filter Wiener dituliskan sbb:
dimana n adalah jumlah elemen. Matriks a diatas
merupakan matriks dengan bentuk spesial yakni matriks Toeplitz,
dimana solusi persamaan diatas secara efisien dapat dipecahkan dengan solusi
Levinson. Dengan demikian operasi Deconvolusi jenis ini seringkali dikenal
dengan Metoda Wiener-Levinson. Untuk memberikan kestabilan dalan komputasi
numerik diperkenalkan sebuah Prewhitening (e) yakni
dengan memberikan pembobotan dengan rentang 0 s.d 1 pada zero lag matriks a (sehingga
elemen a0 matrix diatas menjadi a0(1+e).
Gambar di bawah inimengilustrasikan asumsi fundamental dekonvolusi
maximum-likelihood, yakni reflektivitas bumi tersusun atas event-event besar
yang bercampur dengan latar belakang event-event kecil Gaussian.
Hal ini berlawanan dengan dekonvolusi spiking, yang mengasumsikan
distribusi random sempurna koefisien refleksi. Reflektivitas real log sonik pada
Gambar 2.4 menunjukkan bahwa model seperti ini bisa dipertanggung
jawabkan. Secara geologis, event-event besar tersebut berasosiasi dengan
ketidakselarasan dan batas litologi utama.
Dari asumsi-asumsi model tersebut, dapat diturunkan fungsi objektif yang
dapat diminimalkan untuk menghasilkan reflektivitas yang paling mirip dan
kombinasi wavelet yang konsisten dengan asumsi statistika. Perhatikan bahwa
metoda ini memberikan estimasi reflektivitas sparse dan wavelet.
Fungsi objektif J diberikan oleh :
dimana r(k) = koefisien refleksi pada sampel ke-k, m = jumlah refleksi, L =
jumlah total sampel, N = akar kuadrat variasi bising, n = noise pada sampel
ke-k, λ = likelihood bahwa sampel mempunyai sebuah refleksi. Urutan
reflektivitas diasumsikan bersifat jarang , berarti sebuah spike yang
diharapkan diatur oleh parameter λ yang merupakan rasio dari jumlah spike tidak
nol yang diharapkan diatur oleh jumlah sampel trace. Biasanya λ mempunyai
nilai kurang dari 1. Parameter lainnya yang diperlukan untuk mendeskripsi
perilaku yang diharapkan adalah R , ukuran RMS spike besar, dan N, ukuran RMS
dari noise. Setelah parameter-parameter tersebut dispesifikasi, semua solusi
dekonvolusi dapat diuji untuk melihat apakah ia merupakan hasil proses
statistika dengan parameter-parameter tersebut.
Sebagi contoh, bila estimasi reflektivitas mempunyai jumlah spike yang
lebih besar daripada nilai yang diharapkan, maka ia mencerminkan hasl yang
tidak benar. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, dapat dikatakan bahwa kita
mencari solusi dengan jumlah spike minimum pada reflektivitasnya dan komponen
noise yang lebih rendah.
Tentu saja terdapat jumlah yang tidak terbatas dari solusi yang mungkin
didapatkan sehingga akan memerlukan waktu yang lama untuk melihat masing-masing
kemungkinan solusi tersebut. Oleh karenanya digunakan metoda yang lebih
sederhana untuk mendapatkan jawaban yang paling optimum.
Prinsipnya kita mulai dengan estimasi wavelet awal, estimasi reflektivitas
sparse, selanjutanya di-iterasi sampai sebuah fungsi objektif yang rendah dapat
tercapai dan dapat diterima.
Terdapat dua tahap prosedur yakni estimasi wavelet, memperbaharui
reflektivitas sehingga diperoleh refektivitas estimasi, dan memperbaharui
wavelet.
c.
Migration
Proses migrasi dilakukan pada data seismik dengan tujuan untuk
mengembalikan reflektor miring ke posisi 'aslinya' serta untuk menghilangkan
efek difraksi akibat sesar, kubah garam, pembajian, dll. Terdapat beberapa
macam migrasi: Kirchhoff migration, Finite Difference migration,
Frequency-Wavenumber migration dan Frequency-Space migration. Teknologi Q migration diterapkan pada
data seismik dengan tujuan untuk melakukan migrasi seismik sekaligus melakukan
koreksi amplitudo serta fasa seismik yang terdistorsi karena efek atenuasi dan velocity
dispersion. Dengan
kata lain, setelah melakukan Q Migration, diharapkan diperoleh data
yang telah dikembalikan ke posisi dan timing yang seharusnya serta
mengembalikan kandungan frekuensi tinggi yang hilang akibat atenuasi.